Putus Lagi, Putus Lagi...

Putus Lagi, Putus Lagi...
Kompas - Sudah tiga kali saya berhubungan dengan lawan jenis dengan maksud untuk berumah tangga karena saya sudah berusia 31 tahun, tapi gagal lagi, gagal lagi. Memang saya tahu saya agak temperamental dan saya sering tidak rela kalau calon istri saya berbagi perhatian dengan lawan jenis lain walaupun dengan alasan temannya tersebut adalah sahabat lama sejak masih di sekolah menengah atas sekitar 10 tahun yang lalu.

Peristiwa yang terjadi minggu lalu, saya begitu
marah dengan pacar saya tersebut karena saya tahu bahwa pacar saya itu pergi menonton film, midnight show, dengan beberapa kawan kantornya, tapi sahabat laki-lakinya tersebut ikut menonton juga. Tentu saja saya marah sekali sehingga tanpa terkendali saya melemparkan kunci mobil ke hiasan dinding yang bingkainya berkaca, kacanya pecah berantakan, sementara saya berteriak keras, marah terhadap pacar saya itu.

Saat itu pacar saya sedang ada di ruang tamu rumah saya. Apa yang terjadi kemudian? Saya kaget sekali karena serentak dia minta putus hubungan karena dia tidak tahan dengan sikap temperamental saya. Ibu, saya menyesal sekali, karena di antara tiga pacar terakhir saya, yang inilah yang menurut saya paling ”pas” dan orangtua saya juga sudah setuju. Apalagi beberapa minggu yang lalu, orangtua saya berkenalan dengan orangtuanya dan sudah mulai menyinggung-nyinggung tentang rencana perkawinan kami.

Jujur Bu, saya sedih, terpukul, merasa bersalah, dan menyesal sekali dengan kejadian malam itu. Seharusnya saya tidak sedemikian temperamentalnya, seharusnya saya menahan emosi dan bersedia mendengarkan penjelasannya. Padahal, saya tahu dia seorang pekerja keras dan baru pulang dari kantor sekitar pukul tujuh malam. Jadi, memang sesekali, dia butuh refreshing, pergi dengan teman-teman kantornya untuk menonton bioskop midnight show karena hari Sabtu dan Minggu adalah waktu kencan kami.

Dia juga menerangkan kepada saya bahwa kenapa sahabat laki-lakinya tersebut ikut nonton karena kebetulan sahabatnya itu sedang berada di rumahnya (sahabat laki-lakinya tersebut sudah begitu akrab dengan keluarga pacar saya, sementara teman-teman kantornya berkumpul di rumahnya sebelum berangkat ke bioskop). Ibu, saya sudah minta maaf, tetapi dia tidak memaafkan dan tetap tidak bersedia berpacaran dengan saya lagi, Ibu, bantu saya agar saya tidak sedemikian temperamental lagi.

Demikian T dengan mata berkaca-kaca.

Psikodinamika

Dari hasil pemeriksaan psikologi, tampak benar bahwa kendali emosinya memang lemah, bahkan T didominasi oleh kecenderungan impulsif. Artinya, apa yang muncul sesaat dalam benak dan emosinya akan diungkapkan tanpa kendali. Kecuali itu, T adalah pribadi yang tertutup, kurang luwes dalam pergaulan, dan lebih cenderung bersikap asosial (penyendiri, kurang bergaul, dan bisa berteman hanya dengan orang dengan tipe kepribadian yang relatif juga penyendiri).

Penghayatan emosi agresif sering mendominasi dirinya dan dalam keseharian pergaulan umum dengan rekan sebaya saat bersekolah dan kerja saat ini cenderung ditahan dengan sekuat tenaga, tetapi ungkapan agresif nyata dalam bentuk melempar barang, memukul tembok, serta membanting benda-benda di sekitarnya akan dilakukan di rumah. Dalam situasi ini, kedua orangtua dan para pembantu tidak mampu mengendalikannya sehingga terkesan lingkungan rumah menoleransi perilaku agresif nyata tersebut.

Ada berbagai hipotesis mengapa T berkembang dengan karakteristik tersebut.

1. Karakteristik mental umum dalam diri T relatif lemah sehingga rentan terhadap tekanan emosional dari lingkungan di mana T berada.

2. Kebetulan T adalah anak tunggal yang amat sangat diharapkan kehadirannya di dunia ini oleh kedua orangtuanya dengan latar belakang sosial ekonomi yang sangat berlebih sehingga setelah berbagai upaya medis dan nonmedis dilakukan kedua orangtuanya, Tuhan memercayakan janin T di rahim ibunya. Dapat dibayangkan, betapa bahagianya pasangan itu, proteksi berlebih terhadap T kecil bisa dipahami dan proses pemanjaan dalam pola asuh baik secara materi dan nonmateri pun tidak dapat diabaikan.

3. Dalam konteks pemanjaan emosional, tidak tertutup kemungkinan, tantangan sosial yang T hadapi pada berbagai tahapan perkembangan jiwa kemudian (karena saat ini T sudah berusia 31 tahun) yang kurang sukses mengembangkan sikap lebih menyalahkan lingkungan daripada mencari kesalahan/membuka diri terhadap umpan balik dari lingkungannya. Akibatnya, T tidak belajar dari kegagalan terdahulu yang membuat T selalu mengulang kesalahan yang sama, dalam hal ini, reaksi temperamental tanpa kendali terhadap ketiga mantan pacarnya.

Solusi

Terapi kognitif perilaku (cognitive behaviour therapy) yang disertai dengan pendekatan emosional berdasarkan teknik Rogerian (client’s centered therapy) dengan catatan:

*Kesediaan T bekerja sama selama proses terapi yang baik karena terapi kognitif perilaku hanya efektif bila klien menunjukkan working alliance yang optimal dan terapis mampu menciptakan iklim relasi psikologik yang mendukung aliansi tersebut di atas.

*Aliansi tersebut ditandai oleh komitmen klien untuk hadir setiap sesi terapi yang disepakati, melakukan tugas yang diberikan terapis saat waktu jeda antarsesi terapi.

*Kesediaan klien memonitor perubahan perilakunya sendiri serta mencatat dan menghargai keberhasilan diri dalam perubahan diri dalam perilaku kendali emosi walau masih dalam taraf yang minim sekalipun yang terjadi dalam jeda waktu antarsesi terapi.***



Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog

Popular posts from this blog

Vanessa Minnillo Dambakan Anak Laki-Laki

Indonesian Movie Awards 2010 Penuh Kejutan

Pendidikan seks tak hanya meliputi aspek biologis