Perdana Menteri Thailand Dikabarkan Tak Berniat Mundur

Perdana Menteri Thailand
Dikabarkan Tak Berniat Mundur
Bangkok (ANTARA/Reuters) - Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva tidak berniat tunduk pada tuntutan jalanan penentang dengan membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum dini, kata Menteri Keuangan Korn Chatikavanij pada Kamis.

"Ia tidak berniat melakukannya," kata Korn, teman sekolah Abhisit di Oxford, kepada kantor berita Inggris Reuters dalam wawancara saat ditanya
apakah Abhisit akan membubarkan parlemen sesudah kekerasan ahir pekan lalu menewaskan 22 orang.

"Itu akan sangat buruk bagi negara tersebut dalam waktu lama," katanya.

Korn menyatakan tidak terlalu prihatin bahwa ketidaktentuan politik itu melemahkan mata uang baht Thailand, karena baht lebih lunak akan menguntungkan eksportir.

"Orang kuatir akan sedikit maju. Sedikit lunak, karena kami adalah negara pengekspor, bukan hal jelek, katanya.

Pengunjuk rasa Baju Merah Thailand pada Kamis menyatakan akan menduduki jantung niaga Bangkok sampai ada pemilihan umum dini dan bersiap untuk menghadapi ketegangan berlarut dengan pemerintah.

"Jika pemerintah masih mau mengambil kembali daerah ini, kami bisa melakukan lain kecuali menunggu. Kami sudah mengatasi ketakutan. Tidak ada yang bisa menakuti kami lagi," kata pemimpin Merah, Nattawut Saikuar.

"Kami tidak menyetujui pengunduran diri dan perdana menteri baru. Kami hanya menyetujui pembubaran parlemen," katanya.

Pada September 2006, mantan pemimpin tentara Sonthi Boonyaratglin memimpin kup, yang menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Pengunjuk rasa pindah dari daerah bersejarah ibu kota itu, tempat terjadi kekerasan politik terburuk negara itu dalam 18 tahun pada ahir pekan lalu, dan berkumpul di tempat kedua unjuk rasa mereka di pusat perbelanjaan dan hotel.

Yang berwenang menyatakan tidak akan mencoba memadamkan unjuk rasa damai, tapi mendesak kelompok antipemerintah itu meninggalkan daerah niaga tersebut, tempat mereka mengganggu lalu-lintas dan mengakibatkan pusat perbelanjaan besar tutup.

Sedikit-dikitnya, 22 orang tewas dan lebih dari 800 luka sesudah tentara melancarkan gerakan pada Sabtu untuk membersihkan daerah di sudut kota Bangkok dari penentang itu, yang memicu pertempuran sengit jalanan antara tentara dengan kelompok bersenjata berkedok.

Ribuan pengunjuk rasa berbaju atau berkaos merah, banyak di antara mereka yang datang dari masyarakat miskin perdesaan di Thailand, menguasai dua tempat di pusat Bangkok dalam upaya menggulingkan pemerintah, yang mereka tuduh bersikap elitis dan tidak demokratis.

Pemerintah dan pengunjuk rasa harus bertekad mengakhiri bentrok jalanan setelah kekerasan politik terburuk di negara itu dalam hampir dua dasa warsa, kata kelompok terkemuka hak asasi pada Selasa.

Human Rights Watch (HRW), yang berpusat di New York, mencela kedua pihak atas "pertempuran" jalanan pada Sabtu antara pasukan keamanan dengan pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra di Bangkok.

Peluru tajam, bom bensin dan granat digunakan dalam bentrok itu, kata Brad Adams, direktur Asia HRW, dalam pernyataan lembaga tersebut.

Unjuk rasa sebulan itu adalah bagian terakhir dalam tahunan kekacauan, yang mengadu elit berkuasa melawan kaum sebagian besar miskin dan pedesaan kelompok itu, yang mengatakan pemerintah berkuasa tak sah pada 2008.

Popular posts from this blog

Vanessa Minnillo Dambakan Anak Laki-Laki

Indonesian Movie Awards 2010 Penuh Kejutan

Pendidikan seks tak hanya meliputi aspek biologis